Minggu, 25 September 2011

Sidoarjo (beritajatim.com) - Banyaknya waralaba seperti Indomart, Alfamart dan Alfamidi, yang banyak berdiri mulai pelosok desa hingga perkotaan, ternyata menyisakan masalah. Dari jumlah yang ada, separoh lebih tidak dilengkapi ijin.
''Sebanyak 68 minimarket yang ada, 18 mengantongi ijin, tujuh buah masih proses, sisanya tidak mengantongi ijin,'' ujar Joko Santos Kepala Badan Pelayanan Perijinan Terpadu Sidoarjo Jumat (23/9/2011).
Dia juga menegaskan, kalau minimarket tersebut tetap bandel tidak mengurus ijin, pihaknya akan menyerahkan pelanggaran itu ke Pengawasan Bangunan Dinas PU Cipta Karya dan Satpol PP. ''Yang mempunyai kewenangan untuk menindak bagi pelanggar, Satpol PP,'' tandasnya.
Sekretaris Komisi B DPRD Sidoarjo,  Aditya Nindyatman mengaku sangat prihatin dengan kondisi tersebut. Dia menilai menjamurnya waralaba bertentangan dengan Peraturan Bupati (Perbup) Sidoarjo No. 20 Tahun 2011. Karena penataan minimarket di Kabupaten Sidoarjo belum sepenuhnya terlaksana di lapangan.
"Dan keberadaan minimarket di Sidoarjo boleh dibilang sangat mematikan usaha rakyat dalam kategori perdagangan yang sejenis.Jelas ini sangat menindas usaha rakyat kecil," tegas Ketua DPD PKS Sidoarjo itu.
Disebutkan, dalam Perbup dijelaskan pada Bab IV Pasal 7 tentang kemitraan usaha, ada kewajiban minimarket untuk melakukan kemitraan dengan UMKM (Usaha Mikro Kecil Menengah) khususnya pedagang kecil. Caranya dalam bentuk memasarkan barang produksi UMKM. Minimarket harus menyediakan ruang usaha dalam areal minimarket untuk usaha kecil/pedagang informal.
"Dari pantuan kami, kewajiban yang harus dilakukan oleh seluruh minimarket itu tidak dilakukan. Seperti memasok barang dagangan, atau model pendampingan langsung dalam bentuk bantuan sarana seperti rombong, etalase dan lain-lain. Sebab masih banyak minimarket yang belum melaksanakannya. Apalagi penggunaan tenaga kerja setempat yang tidak termonitoring dan terevaluasi dengan baik," terang Aditya.
Dia mengusulkan, dengan Perbup yang terlihat lemah, ke depannya pengaturan minimarket ini tidak dalam bentuk Perbup, tapi harus dalam bentuk Perda agar implementasi peraturan juga diketahui oleh DPRD dan ada sanksi yang lebih berat bila terjadi pelanggaran dalam pelaksanaannnya.
Parahnya, waralaba yang saat ini berdiri di Sidoarjo, yakni Indomart, Alfamart dan Alfamidi ternyata juga tumbuh di tengah-tengah pasar tradisional. Seperti di tengah pasar Krian telah berdiri Indomart sebanyak 3 unit yang lokasinya hanya berjarak 10 hingga 20 meter saja.
Alfamart juga turut bersaing di sela-sela Indomart tengah Pasar Krian. Di pasar Suko, juga berdiri 1 unit Indomart dan Alfamart dan tak jauh dari pasar. Dekat kawasan perumahan Desa Suko juga berdiri Indomart, Alfamart dan Alfamidi di depan perumahan Villa Jasmine. [isa/but]
Kesimpulan
Kesimpulan
Permasalahan dalam industri ritel lebih banyak merupakan masalah ketidaksebandingan bersaing dan bargaining position. Akar permasalahan industri ritel saat ini berasal dari “market power” ritel modern yang tinggi yang antara lain terbangun karena modal yang tidak terbatas, brand image yang kuat, terdapat peritel yang menjual barang termurah, trend setter ritel Indonesia, serta pencipta traffic konsumen Indonesia. Market power ini menciptakan ketidaksebandingan dalam persaingan ritel modern dengan ritel kecil/tradisional. Market power semakin bertambah dengan semakin luasnya cakupan wilayah yang terjangkau oleh gerai ritel modern, karena minimnya kebijakan pembatasan jumlah dan wilayah (zonasi) bagi ritel modern.
Pemerintah telah menerbitkan kebijakan yang mengatur penataan ritel modern dan ritel tradisional yang tertuang dalam Perpres 112/2007 dan Permendag 53/2008. Namun sepertinya kebijakan tersebut belum dapat diimplementasikan secara nyata di lapangan mengingat dibutuhkannya peran pemerintah daerah dalam implementasinya di lapangan. Sementara itu, daerah pun tampaknya belum siap untuk mengatur secara ketat industri ritel di daerah mereka, yang terbukti dengan belum adanya aturan turunan dari regulai nasional tersebut di daerah. Akibatnya kedua peraturan perundangan tersebut seolah menjadi macan kertas dengan fungsi yang sangat minimal. Solusi kebijakan paling tepat untuk mengatasi persoalan ketidaksebandingan bargaining position dalam hubungan pemasok-peritel terutama menyangkut trading terms, dapat dilakukan dengan membatasi besaran trading terms, sebagaimana yang dilakukan berbagai negara. Melalui pembatasan besaran trading terms ini maka diharapkan efisiensi di sisi produsen/pemasok akan lebih banyak dinikmati oleh konsumen bukan oleh peritel modern.
Saran
Kebijakan sistem zonasi dilakukan untuk membatasi market power yang dimiliki oleh peritel modern besar. Hal ini terutama ditujukan kepada hipermarket dan minimarket yang sangat agresif menguasai industri ritel. Salah satu caranya adalah dengan membatasi jumlah gerai peritel modern tersebut. Pembatasan tersebut dapat dilakukan dengan tidak memberikan izin usaha bagi peritel modern untuk ke depannya maupun dengan membatalkan izin yang telah diberlakukan jika terdapat pelanggaran terkait zonasi. Aturan mengenai zoning sebaiknya lebih diperketat dan membatasi jumlah peritel di setiap wilayah sesuai dengan kondisi masyarakat sekitar.
Kebijakan pembatasan trading terms dilakukan dengan menetapkan besaran maksimal trading terms. Pembatasan nilai maksimal trading terms akan mendorong dinikmatinya hasil efisiensi manufaktur oleh konsumen bukan oleh peritel.
















Daftar Pustaka
1.       http://www.beritajatim.com/detailnews.php/1/Ekonomi/2011-09 23/112697/Waralaba_Menjamur,_Izin_Tak_Lengkap
2.       http://www.kppu.go.id/docs/Positioning_Paper/positioning_paper_ritel.pdf